Skip to content
Menu
  • Blog
  • 30th Apr 2024

Mengatasi ketidakacuhan di era pasca-pandemi: Bagaimana caranya untuk meningkatkan serapan vaksinasi?

Wawasan perilaku berbasis komunitas

Apakah Anda tahu berapa banyak varian hasil mutasi virus SARS-CoV-2 yang telah muncul sejak awal pandemi? Anda mungkin sudah berhenti mengikuti beritanya karena pandemi sudah tidak lagi menjadi perhatian utama kita. Padahal, varian virus SARS-CoV-2 menjadi hal yang dibicarakan banyak orang ketika WHO mengeluarkan izin penggunaan darurat vaksin COVID-19 pertama di awal tahun 2021. Jika Anda berpikir bahwa pandemi ini sudah berlalu, hal itu dapat dimaklumi, kendati banyak negara masih bergulat dengan dampak pandemi. Kebijakan publik dan perilaku masyarakat yang terus berkembang, sama seperti virus itu sendiri, juga mungkin menjadi tantangan tersendiri.

Pandemi membawa tantangan baru terhadap sistem dan proses vaksinasi di banyak negara, termasuk Indonesia. Masyarakat umum pertama kali memperoleh akses vaksin dalam jumlah terbatas pada bulan April 2021, yang awalnya disambut dengan keraguan terhadap vaksin tersebut. Situasi ini diperparah dengan kendala logistik, termasuk penyimpanan vaksin, persyaratan pendaftaran, kurangnya petugas kesehatan, dan tantangan dalam distribusi vaksin. Jika pada pertengahan tahun 2022 saja tingkat vaksinasi sudah stagnan, bayangkan betapa sulitnya mendorong masyarakat untuk menerima vaksin setahun kemudian, ketika orang sudah mempertanyakan “buat apa vaksin lagi, udah nggak butuh…”

Keterbatasan akses dan keraguan terhadap vaksin tidak hanya menjadi tantangan kebijakan publik namun juga tantangan perilaku di Indonesia dan seluruh dunia, dan berisiko menyebabkan dampak pandemi yang berkepanjangan. Behavioural Insights Team (BIT) telah berkolaborasi dengan pemerintah, donor, akademisi, dan lembaga swadaya masyarakat di berbagai negara untuk mengatasi masalah ini. Dengan dukungan dari Foreign, Commonwealth and Development Office (FCDO), kali ini kami bekerja sama dengan Vaccine Data CoLab, ‘Aisyiyah, dan Tulodo untuk meninjau masalah ini dari sudut pandang perilaku manusia. Kami berupaya mendorong masyarakat agar tetap melengkapi persyaratan vaksinasi saat memasuki fase baru pandemi kala itu, ketika kesigapan masyarakat sudah berkurang namun ancaman COVID-19 tetap mengintai.

Berdasarkan data serapan vaksin, kami memutuskan untuk berfokus meningkatkan vaksinasi COVID-19 bagi orang dewasa di Kabupaten Lumajang, Jawa Timur. Salah satu pendekatan intuitif dari sudut pandang konvensional tentang kebijakan publik adalah dengan mengandalkan pemerintah untuk menyediakan informasi yang akurat dan terkini tentang keamanan dan efektivitas vaksin. Meskipun aspek ini sangatlah penting dalam pembuatan kebijakan yang efektif, kami menyadari bahwa memahami keunikan manusia dan konteks sosialnya tidak kalah penting. Oleh karena itu, kami melakukan penelitian formatif, seperti wawancara dan observasi, untuk memahami kisah orang-orang yang membuat keputusan nyata yang dapat mempengaruhi kehidupan mereka di Lumajang.

Apa yang menghalangi orang untuk mendapatkan vaksin?

Persepsi bahwa pandemi telah berakhir

Semakin banyak orang percaya bahwa pandemi ini telah mereda, sehingga mereka merasa tidak perlu lagi menerima dosis vaksin selanjutnya. Dengan menurunnya intensitas komunikasi mengenai COVID-19 dari pemerintah dan tenaga kesehatan, meskipun adanya dorongan kuat dari pemerintah Jawa Timur, masyarakat dapat memberikan semacam ‘izin’ kepada diri mereka sendiri untuk tidak menerima vaksinasi. Hal ini mencerminkan optimism bias (kecenderungan kita untuk memiliki pandangan yang terlalu optimis tentang diri kita sendiri), seperti keyakinan berlebihan bahwa orang lain lebih mungkin menderita gejala parah daripada diri kita sendiri.

Persaingan prioritas antara pekerjaan dan jadwal vaksin

Bagi petani atau pekerja pabrik di banyak desa di Lumajang, membuat keputusan untuk divaksinasi tidaklah mudah karena perjalanan ke puskesmas terdekat pun masih memakan waktu berjam-jam. Dampak dari absen kerja demi mendapatkan vaksin adalah kehilangan sebagian upah. Dalam kondisi pandemi saat itu, biaya peluang (opportunity cost) divaksin menjadi semakin tinggi karena masyarakat kini sudah bisa kembali bekerja.

Pendekatan kami terhadap masalah ini

Untuk mengatasi hambatan-hambatan utama terhadap vaksinasi, pemikiran kami tidak hanya dilandasi oleh pengalaman kami sebelumnya dalam meningkatkan capaian vaksinasi di negara-negara berpenghasilan tinggi dan rendah. Kami pun sadar akan pentingnya mempertimbangkan konteks lokal di Indonesia. Oleh karena itu, kami merancang beberapa intervensi yang efektif dan sesuai dengan latar belakang populasi target di dalam proyek ini, yang didasarkan pada temuan penelitian kualitatif kami. Kami berupaya:

1) Mengatasi hambatan untuk divaksinasi dengan menyediakan layanan vaksinasi dengan jam operasional yang lebih panjang dan lokasi vaksinasi yang lebih banyak; serta menekankan ketersediaan layanan datang langsung (walk-in)

2) Membuat daftar periksa perjalanan visual-taktil (kartu Perjalanan Vaksin) untuk menandai kemajuan bertahap pada status vaksinasi seseorang

 

Gambar 1. Kartu Perjalanan Vaksin

3) Menyiapkan arisan yang memberikan peluang memenangkan barang dan layanan berharga, seperti pemeriksaan kesehatan dasar bagi seluruh anggota keluarga dan kesempatan memenangkan sepeda setelah melengkapi kartu Perjalanan Vaksin – di bawah ini adalah salah satu pemenang arisan kami:

4) Menyebarluaskan materi komunikasi terkait vaksin melalui WhatsApp untuk mengubah persepsi tentang manfaat dan risiko vaksinasi, meningkatkan capaian vaksinasi, dan melawan misinformasi

Gambar 2. Salah satu pesan yang dikirim selama intervensi berlangsung.

5) Memobilisasi kader (relawan) ‘Aisyiyah untuk memotivasi dan membantu masyarakat yang ragu untuk mendapatkan vaksinasi dengan memfasilitasi pertemuan sosial dan keterlibatan masyarakat secara langsung

Uji coba yang ketat terhadap paket intervensi

Paket intervensi dilakukan dalam dua tahap menggunakan desain kontrol daftar tunggu (waitlist control design). Hasil uji coba menunjukkan bahwa intervensi pada kelompok Early meningkatkan proporsi individu yang mendapatkan vaksinasi (0.48%) dibandingkan dengan kelompok Late atau ‘Kontrol’ (0.12%). Kami juga menemukan bahwa dampak intervensi bervariasi antar desa dikarenakan adanya beberapa desa yang tingkat capaian vaksinasinya cenderung lebih tinggi. Salah satu alasan yang mungkin menjelaskan temuan ini adalah jarak puskesmas yang bervariasi antar desa.

Beberapa minggu sebelum uji coba, tingkat capaian vaksin masyarakat masih tergolong rendah. Intervensi kami berhasil mendorong 633 orang untuk menerima vaksin, yang jika tidak digunakan akan kadaluarsa. Selain menghasilkan bukti empiris kuantitatif tentang cara meningkatkan capaian vaksinasi, kami juga mengumpulkan data kualitatif yang dapat dijadikan acuan untuk pembuatan kebijakan publik yang diperoleh langsung lewat interaksi dengan masyarakat, tokoh masyarakat, tenaga kesehatan, tokoh agama, dan masih banyak lagi.

Proyek ini juga menjadi sebuah bukti yang menunjukkan bahwa wawasan perilaku berpotensi untuk diterapkan di luar asal usulnya, yaitu dari negara WEIRD. Kami tahu bahwa beberapa organisasi, khususnya di negara berkembang, menghadapi tantangan yang luar biasa dalam mengembangkan program kesehatannya. Kebanyakan dari mereka tidak memiliki waktu untuk meninjau ribuan makalah akademis untuk mencari wawasan baru. Meskipun temuan yang kami paparkan dalam penelitian ini tidak sepenuhnya menyeluruh, kami telah memastikan bahwa hasil penelitian ini dapat dijangkau secara luas, berbasis bukti empiris, dan praktis. Berikut tiga pembelajaran penting dari penelitian kami:

  1. Akses adalah faktor yang penting. Meskipun kita dapat mendorong serapan vaksin dengan memudahkan proses vaksinasi, upaya untuk membangun infrastruktur mendasar yang dapat memfasilitasi program vaksinasi tetaplah krusial. Kami menemukan bahwa desa-desa yang memiliki akses ke puskesmas yang lebih mudah mencapai jumlah capaian vaksinasi yang relatif lebih tinggi. Artinya, pembuat kebijakan dapat memperoleh hasil maksimal dari investasi pembangunannya dengan menggabungkan peningkatan infrastruktur dengan wawasan perilaku karena temuan kami menunjukkan bahwa penyediaan infrastruktur saja mungkin tidaklah cukup.
  2. Pengaruh insentif. Insentif merupakan alat yang efektif untuk mendorong vaksinasi, akan tetapi harus diterapkan dengan hati-hati untuk menghindari konsekuensi yang tidak diinginkan. Dalam penelitian ini, kami berusaha untuk mengantisipasi kemungkinan bahwa sebagian orang mungkin akan mengabaikan jeda waktu yang disarankan antar suntikan vaksin demi mengejar hadiah semata. Kami membangun langkah pencegahan ke dalam rancangan intervensi kami. Sebagai contoh, salah satu tahap dalam kartu Perjalanan Vaksin mengharuskan peserta untuk menunggu interval waktu antar dosis vaksin sehingga kami dapat mengatasi hal tersebut jika terjadi. Selain itu, insentif yang dikemas dalam bentuk arisan dapat menjadi solusi yang lebih ekonomis namun tetap efektif untuk membantu mendorong vaksinasi dalam proyek ini.
  3. Mengintegrasikan cara pandang berbasis wawasan perilaku ke dalam kebijakan publik. Para praktisi dan pembuat kebijakan yang ingin mengubah perilaku harus mempertimbangkan penggunaan pendekatan wawasan perilaku. Pendekatan ini melibatkan rancangan intervensi untuk masalah spesifik dengan memahami hambatan perilaku, dan mengevaluasi apakah intervensi tersebut dapat menghasilkan perubahan perilaku. Pendekatan seperti ini memastikan bahwa kita mengatasi hambatan yang tepat dan membantu kita untuk tidak hanya mengetahui hal-hal yang telah berhasil, namun juga mempelajari yang belum berhasil. Memahami bagaimana masyarakat berperilaku di dunia nyata adalah upaya yang penting.

Proyek ini merupakan bagian dari Vaccine Data CoLab, suatu inisiatif yang bertujuan untuk meningkatkan serapan vaksin dengan memperkuat sistem data kesehatan dan proses pengambilan keputusan berbasis data. Temuan ini sejalan dengan pembelajaran yang lebih luas dari program Vaccine Data CoLab di Nigeria dan Uganda tentang pentingnya mempertimbangkan latar belakang setempat yang relevan (mulai dari tenaga kesehatan yang memiliki beban kerja yang tinggi hingga pasokan listrik di fasilitas kesehatan yang kadang tidak dapat diandalkan), dan menggunakan pendekatan sistem yang menghubungkan para pemangku kepentingan dengan gagasan di tingkat lokal, nasional, maupun global.

Negara-negara seperti Indonesia, Nigeria, dan Uganda sedang menguji berbagai pendekatan inovatif demi meningkatkan kebijakan dan perundang-undangan mereka, serta mengembangkan atau melaksanakan rencana jangka panjang dalam digitalisasi. Agar program tersebut dapat diwujudkan di tingkat lokal, dukungan holistik yang mempertimbangkan semua hambatan perubahan dan dapat disesuaikan dengan berbagai konteks, sangatlah penting. Kami melihat wawasan perilaku sebagai pendekatan yang berpotensi untuk menghubungkan pengambilan keputusan di tingkat pemerintah pusat dengan realitas lokal yang dapat mendorong perubahan perilaku dan menyukseskan program vaksinasi nasional.

Tahapan selanjutnya

Kami percaya bahwa pembelajaran dalam proyek ini juga dapat diterapkan dalam upaya-upaya terkait, seperti meningkatkan tingkat imunisasi anak atau program kesehatan lain secara lebih luas. Di banyak negara termasuk Indonesia, temuan-temuan seperti ini sangat penting karena imunisasi masih menjadi salah satu intervensi kesehatan masyarakat yang paling efektif – yang diperkirakan berhasil mencegah antara 4-5 juta kematian di dunia setiap tahunnya. Jika diterapkan pada skala nasional, intervensi kami akan menambah capaian vaksinasi sebanyak 84 juta orang, dibandingkan dengan hanya memberikan akses vaksin kepada masyarakat. Dengan ketersediaan dana yang lebih besar, kami berkeinginan untuk menjalankan intervensi ini dalam skala yang lebih besar melalui kerja sama dengan komunitas lokal dan pemerintah untuk mengatasi tantangan vaksin lainnya, seperti HPV. Namun, proyek ‘miliaran rupiah’ yang akan datang tidak hanya diperuntukkan untuk menjalankan proyek berbasis wawasan perilaku, tetapi juga untuk membangun kerja sama yang lebih kuat dengan pemerintah Indonesia. Kami ingin menjadikan pendekatan wawasan perilaku sebagai unsur penting dalam kebijakan dan desain layanan kesehatan yang terintegrasi dengan keahlian dan tekad luar biasa yang kami temukan pada mitra kami dalam sistem kesehatan Indonesia. Jika Anda memiliki ambisi yang sama, silakan hubungi kami di sini.

Jawaban untuk pertanyaan di awal artikel ini:

Pada bulan Oktober 2023, WHO menetapkan penggunaan alfabet Yunani untuk lima varian yang berpotensi membahayakan, yaitu Alpha, Beta, Gamma, Delta, dan Omikron. Faktanya, ilmuwan telah mengidentifikasi ribuan varian genom berbeda dari SARS-CoV-2.

Authors